Hikayat Persinggahan
Naryama Narotama
Dahulu
kala, di sebuah
daerah di Pucuk Jawa hiduplah keluarga kerajaan. Keluarga dari raja Naryama
Narotama. Seorang raja yang baik dan bijaksana. Beliau pemimpin kerajaan
Blambangan. Semua rakyat tunduk dan menghormati Raja Naryama. Raja Naryama
mempunyai seorang istri bernama Sri Saraswati. Mereka berdua hidup bahagia,
namun ada yang kurang dari keluarga ini yaitu mereka belum memiliki keturunan,
padahal mereka sudah menikah selama 20 tahun lamanya. Terkadang masalah itu
sedikit memunculkan percikan pertengkaran dari keduanya, namun itu semua tak
mengurangi kebahagiaan keluarga ini.
Pada
suatu malam sang Raja Naryama pergi berburu dengan para lah prajurit dan
meninggalkan sang istri untuk sementara di istana Pura Blambangan bersama
pelayannya. Setelah raja Naryama pergi, permaisuri Sri Saraswati menuju kamar
untuk beristirahat. Saat permaisuri Sri Saraswati akan tidur, tiba-tiba
terdengar suara-suara anehdari sudut-sudut kamarnya, suara itu sangat mencekam.
Suara itu terdengar seperti,
“Kau
harus ikut bertanggung jawab!! Tanggung jawablah!!” (diiringi suara tertawa wanita tua).
Permaisuri
Sri Saraswati sangat takut dan bingung apa yang dimaksud oleh suara-suara itu.
Seketika ia memanggil para pelayannya untuk menjaganya saat terlelap nanti.
Keesokan
harinya, setelah kejadian semalam sang permaisuri menceritakan kejadian semalam
pada Raja Naryama. Sang suami sempat tidak percaya dengan cerita permaisuri Sri
Saraswati, karena ia tidak mengalami secara langsung. Malam harinya, saat
mereka berdua akan tidur, suara mencekam itu muncul kembali dengan mengatakan
sebuah ancaman,
“Bertanggung
jawablah kalian berdua!! Bertanggung jawablah!! Kalian penyebab semua ini.”
Dengan
perasaan takut dan bingung sang raja dan permaisuri berusaha mencari tahu apa
arti suara itu, namun suara itu tiba-tiba menghilang. Keesokan harinya Raja
Naryama bersama para prajurit memutuskan untuk pergi ke seorang paranormal yang
terkenal hebat di daerahnya yaitu Ki Tirto. Di sebuah rumah dibalik Gunung
Kelor, disitulah sang paranormal tinggal. Setelah menempuh perjalanan sehari
semalam, rombongan kerajaan itu sampai di desa Lohgawe. Suasana disana sangat
sunyi dan mencekam karena dipenuhi ribuan burung hantu dan burung gagak hitam, seakan
tak ada kehidupan disana, sungguh memperlihatkan kemisteriusan suatu daerah.
Sang raja mulai memasuki rumah sang paranormal dan ia mulai bertanya apa
penyebab dari munculnya suara-suara miesterius di istananya. Paranormal itu
hanya diam tapi dibalik sikap diamnya, ia seperti mengetahui sesuatu, sang raja
pun terus bertanya. Namun paranormal itu tetap diam, dan hanya menjawab,
“Kamu
akan mengetahui saat waktunya tiba.”
Sang
raja tetap memaksa, tapi paranormal itu tetap diam. Akhirnya, rombongan
kerajaan itu memutuskan untuk pulang kembali dengan perasaan kesal dan memendam
kekecewaan.
Esok
harinya, Raja Naryama mengadakan sayembara untuk seluruh rakyatnya, siapa yang
bisa mengartikan makna dari suara-suara yang muncul di istananya, akan diangkat
sebagai patih kerajaan Blambangan. Setelah mengumumkan sayembara itu, raja
Naryama menemui permaisuri, disaat itu sang permaisuri ingin berbicara penting
tentang keturunan yang belum dimiliki oleh keluarga mereka. Permaisuri Sri
Saraswati bercerita sambil menangis, mengapa keluarganya tidak segera
dikaruniai keturunan, padahal mereka sudah menikah selama 20 tahun. Raja Naryama berusaha menjelaskan pada sang istri
bahwa ia sudah berusaha dengan berbagai cara, namun hasilnya masih nihil. Raja
Naryama terus berusaha menenangkan dan meyakinkan hati istrinya,
“Adinda, mungkin Sang Hyang Widhi masih belum
mengizinkan kita mempunyai anak, terlebih sekarang keadaan di istana masih
mencekam.”
Akhirnya, Permaisuri Sri Saraswati pun bisa mengerti
dan mulai tabah kembali. Malam harinya saat sang raja dan permaisuri
berbincang-bincang di teras istana, suara-suara aneh itu muncul kembali dengan
tujuan yang sama yaitu meminta pertanggungjawaban dari Raja Naryama dan
permaisuri Sri Saraswati. Mereka berdua kembali bertanya-tanya apa maksud dari
suara itu. Sang Raja dan Permaisuri memanggil para prajurit untuk menghantarkan
mereka ke tempat Ki Tirto kembali. Dalam perjalanan menuju kaki Gunung Kelor,
tiba-tiba suara itu muncul kembali saat rombongan kerajaan berada di tengah
hutan.
“Naryama, kau harus mempertanggungjawabkan semua
perbuatanmu ini, aku tidak akan tinggal diam dengan semua ketidak adilan ini.”
“Siapa kau ini? Tampakkan wujudmu!! Apa yang harus aku
pertanggungjawabkan?”, sahut sang raja.
Namun suara itu tak muncul kembali, sang raja dan
rombongan istana pun merasa kebingungan, apa yang harus mereka lakukan,
akhirnya mereka melanjutkan perjalanan sambil berpikir apa maksud suara itu
muncul kembali.
Setelah menempuh perjalanan sehari semalam, rombongan
kerajaan itu tiba di rumah Ki Tirto, sang dukun sakti. Saat bertemu, sang raja
kembali bertanya apa arti suara itu, mengapa suara itu selalu menghantui
kehidupannya di istana Blambangan. Ki Tirto pun mulai menjawab,
“Ini semua berhubungan dengan masa lalu dari
leluhurmu.”
“Apa yang terjadi dengan leluhur saya Ki?”, jawab sang
raja.
“Cari tahulah sendiri, terhitung 40 hari dari sekarang
kamu akan mengetahuinya, saat datang kembali padaku.”, jawab Ki Tirto.
Dengan rasa bertanya-tanya sang raja dan rombongan pun
kembali ke istana. Sesampainya di istana Pura Blambangan, Raja Naryama
bercerita pada sang istri bahwa semua kejadian yang ada selama ini menyangkut
dengan masa lalu para leluhurnya, Permaisuri Sri Saraswati bertanya-tanya apa
yang dilakukan oleh leluhurnya, dia mulai mencari tahu dengan mengingat-ingat
apa yang terjadi di masa lalunya.
Sementara itu, sayembara yang diadakan oleh Raja
Naryama mulai membuahkan hasil. Ada seorang laki-laki tua yang datang ke istana
Pura Blambangan, dia berkata bahwa
“Dulu ada kejadian yang berkaitan dengan leluhur Raja
Naryama Narotama yang bernama Prabu Silirwangi.”
“Kejadian apa?”, tanya sang Raja.
“Hanya ada satu kuncinya, ada seorang laki-laki dia
adalah sahabat dekat Prabu Silirwangi, dia mengetahui semua kejadian itu. Dia
bernama Tirto Bayukusumo.” Sahut laki-laki tua itu.
Raja Naryama mulai berpikir apakah Tirto Bayukusumo
itu adalah Ki Tirto sang dukun sakti itu. Raja Naryama ingin segera menemui Ki
Tirto namun, hari masih berjalan ke 15, kurang 25 hari lagi untuk mengetahui
semua misteri ini. Permasuri Sri Saraswati berusaha menenangkan hati sang suami
yang sedang gelisah menunggu kebenaran semua kejadian yang ada di istananya.
Malam harinya, saat sang Raja dan Permaisuri akan tidur, suara itu muncul
kembali,
“Naryama, kenapa kau belum bertanggung jawab dengan
semua perbuatan ini?” lalu suara itu menghilang.
Raja Naryama pun geram dengan semua terror ini, ia
seperti ingin marah pada keadaan. Namun, sang istri kembali mendinginkan
suasana hati Raja Naryama. Setelah Raja Naryama mulai tenang, mereka berdua
menuju ke kamar untuk beristirahat. Saat mereka terlelap, tiba-tiba Permaisuri
Sri Saraswati bermimpi, ia seperti bertemu dengan seorang wanita tua dan wanita
itu berkata bahwa kakek dari sang suami telah melakukan kesalahan besar
terhadap salah seorang rakyat Blambangan. Kakek sang suami telah membuat salah
seorang rakyatnya menderita dan balasan dari semua itu yakni keturunan dari
sang kakek akan mendapat kutukan. Permaisuri Sri Saraswati seketika bangun dari
tidurnya, lalu ia membangunkan sang suami yang sedang terlelap. Saat sang suami
terbangun, Permaisuri Sri Saraswati mulai bercerita tentang mimpinya, bahwa ada
seorang wanita tua yang berkata kakek sang suami telah berbuat kesalahan. Raja
Naryama mulai merasakan bahwa teror misterius di istananya akan menemui titik
terang.
Semenjak kejadian Permaisuri Sri Saraswati bermimpi,
sang raja terus berpikir tentang semua kejadian dan teror yang menimpa keluarga
dan istananya. Tak terasa waktu berlalu, sekarang sudah hari ke 30, kurang 15
hari lagi Ki Tirto akan memberi tahu misteri dibalik teror-teror yang
dialaminya. Seiring berjalannya waktu, suara-suara itu terus menghantui istana
Pura Blambangan. Raja Naryama dan Permaisuri Sri Saraswati terus dihantui
hidupnya, suara meminta pertanggung jawaban itu setiap malam muncul di
sudut-sudut ruangan istana. Tidak hanya mereka berdua, pelayan istana juga
merasa terganggu, sehingga banyak dari mereka yang mengundurkan diri karena
ketakutan dengan suara itu.
Pada suatu malam, saat Raja Naryama akan tidur
tiba-tiba ada suara benda terjatuh di sebelah kamarnya, sang raja pun menuju ke
tempat benda itu. Setelah dilihat ternyata itu suara dari foto kakek Raja
Naryama yang jatuh. Raja Naryama pun terkejut kenapa harus foto dari Prabu
Siliragung yang jatuh, apa ini ada kaitannya dengan cerita laki-laki tua yang
mengikuti sayembara itu, pikir Raja Naryama. Saat Raja Naryama akan
membersihkan puing-puing kaca foto, tiba-tiba suara wanita tua itu muncul
kembali,
“Naryama, lihatlah foto itu, dia yang menyebabkan
kehancuran ini, dia yang membuatku sengsara. Kau harus mempertanggung jawabkan
ini.”
“Siapa kau ini sebenarnya? Apa salah kakekku?”, teriak
Raja Naryama.
Namun, suara itu hilang kembali. Mendengar suara sang
suami, Permaisuri Sri Saraswati terbangun dan segera berlari menuju suara sang
suami. Ia berusaha menenangkan diri sang suami. Mereka berdua pun kembali lagi
ke kamar.
Keesokan harinya, saat Raja Naryama tengah berkeliling
untuk melihat keadaan rakyatnya, Permaisuri Sri Saraswati kembali meneteskan
airmata, entah apa yang terbesit dipikirannya, tiba-tiba sang Permaisuri
menangis sampai para pelayan dan prajurit kerajaan terkejut. Mereka pun menuju
ke kamar Permaisuri Sri Saraswati, dan bertanya apa yang terjadi dengan sang
putrid. Namun sang Permaisuri tetap menagis dan tidak menggubris pertanyaan
dari para prajuritnya. Raja pun tiba di istana, dan mendapat kabar bahwa sang
Permaisuri tiba-tiba saja menangis. Dengan perasaan cemas raja Naryama membuka
pintu kamar dan bertanya pada sang istri,
“Kenapa adinda menangis? Apa yang kau pikirkan?”,
tanya sang raja.
“Kanda, kenapa kita tak kunjung diberi keturunan?
Lantas siapa yang akan meneruskan tahta kerajaan jika kita tidak segera
memiliki anak? Apa aku ini mandul?”, jawab sang permaisuri.
“Dinda jangan berpikir seperti itu, mungkin saja sang
Hyang Widhi belum mengizinkan kita punya anak, kerajaan juga masih berusaha
memecahkan masalah yang melanda istana kita. Sudahlah dinda, kita serahkan saja
ini semua pada sang Hyang Widhi.”, Raja Naryama berusaha menenangkan sang
istri. Mendengar ucapan sang suami Permaisuri Sri Saraswati pun berusaha tegar
walaupun sudah 20 tahun mereka menikah dan belum memiliki keturunan.
Hari-hari berlalu tak terasa sekarang sudah hari ke
39, kurang satu hari lagi Raja Naryama mengetahui semua jawaban dari kejadian
ini. Raja Naryama memutuskan untuk pergi pada hari ke 39 karena perjalanan
menuju Gunung Kelor memerlukan waktu sehari semalam. Rombongan kerajaan
bersiap-siap, kali ini Permaisuri Sri Saraswati ikut dalam perjalanan, dalam
perjalanan rombongan ini melewati hutan lebat dan sungai yang beraliran deras.
Saat melewati hutan lebat, rombongan sempat dihadang oleh kawanan harimau
kumbang yang sedang mencari makan, harimau itu sempat mendekati kendaraan
kerajaan seperti ingin menerkam rombongan raja yang ada di dalamnya. Namun,
sang raja sudah siap ia membawa sekantong daging yang disiapkan jika ada hewan
buas yang datang seperti itu. Setelah diberi makan harimau-harimau itu perlahan
pergi dan rombongan kerajaan bisa melanjutkan perjalanan kembali. Tak berhenti
disitu saat melewati aliran sungai, mereka sempat terhenti karena aliran sungai
yang tak kunjung pelan, jika dipaksakan dikhawatirkan kendaraan kerajaan akan
terhempas. Sehingga waktu mereka sempat terbuang dan mereka tiba di rumah Ki
Tirto sedikit terlambat.
Sesampainya disana, Raja Naryama langsung menemui Ki
Tirto dan meminta penjelasan apa yang terjadi di istananya saat ini. Ki Tirto
pun mulai bercerita, dahulu kala di daerah sekitar istana Pura Blambangan
tinggal lah seorang wanita cantik bernama Nyi Kunti. Dia salah satu pelayan
istana pada saat kepemimpinan Prabu Silirwangi yang tak lain adalah kakek dari
Raja Naryama Narotama. Pada saat itu, Prabu Silirwangi menaruh hati pada Nyi
Kunti, dia berusaha mendekati Nyi Kunti padahal pada saat itu Prabu Silirwangi
telah memiliki istri yang bernama Ratu Tunggadewi (nenek dari Raja Naryama
Narotama). Pada suatu malam, Prabu Silirwangi mendatangi kamar Nyi Kunti dan
berusaha menyetubuhi Nyi Kunti, niat itu sempat terhalang oleh suara teriakan
Nyi Kunti, namun Prabu Silirwangi telah menyiapkan obat di sapu tangannya yang
bisa membuat Nyi Kunti pingsan, akhirnya niat jahat Prabu Silirwangi terlaksana
sesuai dengan keinginannya. Dua bulan berlalu setelah kejadian saat itu,
tiba-tiba Nyi Kunti meminta pertanggung jawaban dari Prabu Silirwangi, ia
mengaku telah hamil akibat perbuatan Prabu Silirwangi. Namun sang Prabu enggan
bertanggung jawab, ia malah menuduh Nyi Kunti telah memfitnah dirinya. Prabu
Silirwangi pun memanggil prajurit kerajaan dan meminta untuk mengusir Nyi
Kunti. Tanpa berpikir panjang, Nyi Kunti langsung diusir tanpa rasa hormat.
Malam harinya, Prabu Silirwangi memerintahkan prajurit untuk mencari Nyi Kunti
dan membunuhnya agar tidak mengganggu keluarganya kembali. Nyi Kunti akhirnya
dapat ditemukan prajurit dan mereka langsung membunuhnya. Tanpa diketahui Nyi Kunti
ternyata memiliki kekuatan sihir yang sakti, sesaat sebelum mereka membunuh Nyi
Kunti, Nyi Kunti sempat mengucapkan bahwa istana blambangan akan menjadi tempat
yang dihantui roh-roh halus yang akan mengganggu kelangsungan kejayaan kerajaan
dan keturunan selanjutnya tidak dapat memiliki keturunan, sehingga perlahan
Kerajaan Pura Blambangan akan hancur.
Setelah mengetahui cerita itu, Raja Naryama sedikit
bingung, lantas ia bertanya,
“Lalu aku ini anak siapa? Aku bukan anak Prabu
Setyoutomo (ayah dari Raja Naryama)?”
“Kau memang bukan anak Setyoutomo, karena Prabu
Setyoutomo dan ibumu telah terkena kutukan dari Nyi Kunti, sehingga ibumu tidak
bisa mempunyai anak. Kau hanya anak angkat dari mereka, dulu kau diasuh oleh
Nyi Laksmi, dia sekarang sudah meninggal.”, tutur Ki Tirto.
“Apakah Ki Tirto ini yang dimaksud sahabat kakek saya,
yang bernama Tirto Bayukusumo?”, sahut Raja Naryama.
Ki Tirto menganggukkan kepala.
“Apa yang bisa saya lakukan agar kutukan itu hilang
Ki?”, tanya Raja Naryama.
“Kau perlu menyembelih ayam cemani di malam satu suro
dan tebarkan darah ayam itu secara merata di lingkungan kerajaan. Namun itu
hanya bisa mengusir roh jahat yang menghantui istanamu, tapi itu tidak bisa
membuat istrimu bisa hamil.”, jawab Ki Tirto.
Setelah mendengar semua penjelasan Ki Tirto, raja
Naryama sempat kecewa karena istrinya tetap tidak bisa hamil, sang istri yang
mendengar pun juga terlihat terpukul dengan cerita itu. Raja Naryama terus
berusaha memberi pengertian pada sang istri, agar Permaisuri Sri Saraswati bisa
memahami semua ini. Rombongan kerajaan ini pun kembali ke istana. Di sepanjang
perjalanan raja Naryama terus menenangkan hati istrinya, sampai sang istri bisa
mulai mengerti dengan keadaan yang telah ditakdirkan sang Hyang Widhi untuk
keluarganya. Sesampainya di istana, raja Naryama dan Permaisuri Sri Saraswati
beristirahat. Beberapa hari setelah itu, tepat malam satu suro Raja Naryama
langsung memerintahkan prajuritnya untuk mencari ayam cemani yang akan
disembelih. Setelah mendapatkan ayam cemani, sang Raja langsung menyembelih
sendiri ayam itu dan menaburkan darahnya di sekitar istana dan berharap semua
teror misterius ini akan berhenti. Keesokan harinya suara itu tak pernah muncul
kembali, Raja Naryama dan Permaisuri mengucapkan syukur kepada Sang Hyang
Widhi. Setelah masalah roh halu itu selesai, pasangan kerajaan ini memutuskan
untuk mengambil anak untuk dijadikan anak angkat yang kelak akan meneruskan
tahta kerajaan. Setelah mencari selama 10 hari, akhirnya mereka menemukan anak
itu, seorang anak laki-laki dari seorang ibu yang tidak mampu membiayai
kehidupan sang anak yang tampan. Lalu anak itu diberi nama Agrata Variya
Airlangga yang diharapkan bisa menjadi pemimpin yang jujur dan sempurna kelak
dalam memimpin kerajaan Pura Blambangan. Setelah semuanya terselesaikan,
kehidupan istana semakin damai, raja Naryama semakin fokus membuat sejahtera
kehidupan rakyatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar